resume buku "senyum dalam dakwah"
Tersenyum mempunyai pengaruh yang kuat untuk membuat jiwa gembira dan bahagia. Rasulullah sendiripun sesekali tersenyum dan tertawa hingga tampak gerahamnya yang putih, sehingg Rasulullah bersabda; “Tersenyumlah karena senyum itu merupakan shodaqoh”.
Salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan mereka menjadi penduduk ahli surga adalah senyum dan tertawa, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Muthaffifin ayat 34: “maka pada hari ini, orang-orang beriman mentertawakan/tersenyum kepada orang-orang kafir”. Dalam Faidhuk Khathir, Ahmad Amin menjelaskan “ Orang yang murah tersenyum dalam menjalani hidup ini bukan saja orang yang paling mampu membahagiakan diri sendiri, tetapi juga orang yang mampu berbuat, orang yang paling sanggup memikul tanggungjawab, orang yang apling tangguh menghadapi kesulitan dan memecahkan persoalan dan orang yang paling dapat menciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain”.
Setiap kali kita melihat kesulitan, jiwa seseorang yang murah senyum justru akan menikmati kesulitan itu dengan memacu dirinya untuk mengalahkannya. Dengan berusaha mengalahkannya lalu tersenyum. Berbeda dengan orang yang selalu risau. Setiap kali menjumpai kesulitan, ia ingin segera meninggalkannya dan melihatnya sesuatu yang amat besar dan memberatkan dirinya. Itulah yang menebabkan semangat seseorang menurun.
Menghiasi diri dengan senyum iman
Setiap peristiwa pasti memiliki ‘manfaat tersembunyi’. Kadang, tampak tak adil di permukaan mata, tetapi siapa tahu justru ia menyimpan ‘keadilan tersembunyi’ yang hanya bisa di ketahui di belakang hari sungguh, dalam keadaan seperti itulah Tuhan ingin menunjukkan siapa yang ‘buta’ dan siapa yang ‘melihat’; siapa yang ‘tertidur’ dan siapa yang ‘terjaga’ siapa yang ‘bermuka’ masam dan siapa yang ‘tersenyum simpul’. Patutlah kita sekarang untuk merenungkan diri sampai di mana tuntunan iman yang dapat kita laksanakan dalam hidup ini. Sesuai dengan kadar iman ang kita miliki. Renungan demikian telah di alami pula oleh nabi Ibrahim sebagaimana tersebut dalam Q.S Al-An’am; “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkan-Nya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lau) dia berkata: ‘saya tidak suka kepada yang tenggelam’. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: ‘inilah Tuhanku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: ‘Sesungguhnya jika tuhanku tidak member petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat’. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar’, maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumu dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.
Salah satu kontribusi psychology contemporer yang kini banyak dikaji oleh kalangan agamawan adalah temuan mengenai perbedaan cara kerja, otak bagian kiri, otak bagian kanan. Cara kerja otak bagian kiri lebih cenderung Linear, Matematis, Kuantitatif, Repetitif, dan melihat persoalan secara parsial. Sementara itu, otak bagian kanan bekerja secara inovatif, contemplative, sintesis dan melihat persoalan secara Holistik atau Komprehensif.
Meningkatkan iman berarti meningkatkan kerja atau amal salih, di mana pada kerja keras atau amal salih itu terletak kwalitas manusia, dan kepada mereka pula dipercayakan Allah untuk mengatur alam semesta ini. ada tiga tingkatan mukmim, yaitu; petama, tingkatan Zhalimun Li Nafsihi (orang yang perbuatannya tidak sama dengan perkataanna), kedua, tingkatan Al-Muuqtashid (orang mukmin yang dalam beramal, membatasi diri pada hal-hal yang fardu saja), dan ketiga, tingkatan Sabiqun Bi Al-khairat (orang mukmin yang dalam beramal, tidak membatasi diri pada hal-hal yang fardu, akan tetapi selalu bekerja dan terlibat dalam usaha-usaha kemanusiaan).
Demikian pula dalam segala kegiatannya, ia selalu bekerja keras dalam usaha-usaha yang membawa kepada peningkatan kwalitas diri dan kwalitas masyarakat lingkungannya.
Penawar gundah, cemas, dan kegalisahan
Bagi orang-orang beriman, kegundahan dan kegelisahan itu tidak perlu ada. Tetapi bagaimanapun, rasa gelisah, khawatir dan rasa takut merupakan bagian dari kodrat manusia. Oleh karena itu, untuk menghilangkan keresahan yang ada pada diri kita, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, Husnudzon kepada Allah, merupakan obat utama dan pertama pada saat kita merasakan gundah. Seperti contoh ketika kita diturunkan dari jabatan yang tinggi, kita harus segera mengintrofeksi diri kita sendiri. Dalam kehidupan ini banyak hal-hal yang kita benci, atau tidak menyukainnua. Tapi boleh jadi, sesuatu itu justru bermanfaat untuk kita. Sebalikna, sesuatu yang kita cintai boleh jadi sesungguhnya tidak baik dan buruk bagi kita. Seperti dalam Q.S Al-Baqarah 2:216 “...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”. Kedua, yang harus dilakukan adalah mengembangkan wawasan akhirat dengan senyum kesadaran. Salah satu ciri orang yang beriman yaitu mereka itu meyakini adanya akhirat. Di akhirat nanti perbuatan setiap orang akan dikalungkan di lehernya sendiri dan mereka akan mendapati kitab perbuatan mereka secara terbuka. Dengan demikian pengembangan wawasan akhirat merupakan suatu keharusan jika kita ingin mengobati diri sendiri. Ketiga, berbakti kepada kedua orang tua, karena hal ini juga merupakan penawar gundah cemas dan kegelisahan sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa ridho orang tua adalah ridhonya Allah, murkanya orang tua juga murkanya Allah.
Bahagiannya senyum persaudaran
Persaudaraan yang sering dibicarakan sesungguhnya memiliki signifikan yang timbul dari pemaknaan persaudaraan, yaitu: pertma, mukmin dengan mukmin lainnya harus saling tolong-menolong untuk taat kepada Allah, bukan untuk berbuat maksiat. Kedua, adanya solidaritas dan tolong-menolong dalam masalah ketenagaan dan kejiwaan. Ketiga, adanya solidarity sosial. Keempat, adanya solidaritas material. Rasulullah SAW memerintahkan kepada setiap muslim untuk melepaskan problematika material mukmin lainnya. Kita harus memiliki sifat-sifat yang disebut dengan “Ma Badi’ Khairu Ummah”, membangun persaudaraan yang bahagia. Para ulama mengatakan ada lima sifat dasar dalam menciptakan kondisi tersebut; (1) Al-Shidiq, umat islam harus memiliki sifat-sifat kejujuran, (2) al-Amanah, seorang muslim harus menepati janji dan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dipercayan kepadanya, (3) Al-‘Adalah, bersikap dan berlaku adil, (4) Al-Ukuwah wa Al-Ta’awun yakni merasa bersaudara dengan orang lain dan timbul kesadaran untuk saling tolong-menolong. Dan (5) Al-Istiqomah, berlaku konsisten dalam kebaikan. Lima landasan tersebut hendaknya menjadi identitas setiap muslim. Dan mudah-mudahan kita mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
Mengelola marah dengan senyum
Ada seorang pria melakukan perjalanan yang panjang dengan tujuan untuk menjumpai Rasulullah SAW. Ketika bertemu dengan beliau, lelaki itu diberi wasiat oleh Rasulullah SAW yaitu “La taghdob kamu jangan marah, jangan bersikap emosional”. Kita bisa memperhatikan lebih jauh dari nasehat Nabi di atas, bahwa segala sesuatu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan marah atau emosional. Dalam Q.S Ali Imron 134; “yaitu orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang, Allah menyukai orang-orang yang berbaut kebajikan”. Namun tidak dapat dipungkiri, manusia dengan segala sifat kemanusiaannya tidak mungkin menghindar dari marah. Tetapi, marah itu bisa dikelola, sehingga daya destruksinya menjadi terkontrol.
Pertama, Islam mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kesabaran. Ajaran kesabaran adalah kekuatan pengimbang dan pengendali manusia agar tidak memuntahkan kemarahan secara berlebihan. Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda, “orang kuat bukanlah yang bisa menjatuhkan seseorang ke tanah, namun orang yang bisa mengendalikan diri ketika marah”. (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Kedua, tafakur juga akan bermanfaat dalam hal mengelola kemarahan karena marah yang berlebihan akibatnya mematikan rasa tafakur. Nabi Muhammad pernah mengatakan, “bahwa, kamu memiliki dua kualitas yang dicintai Allah; kesabaran dan tafakur yang mendalam”. (H.R. Muslim). Namun bukan berarti kita tidak boleh marah, tetapi marah dilakukan pada lokasi yang benar. Manusia dianjurkan untuk marah secara positif, konstruktif dan bertanggung jawab bagi kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bahwa marah bukan datang dari subyektifitas pribadi melainkan dari komitmen untuk membela kepentingan publik dan masyarakat yang terancam kebatilan.
Persoalan marah adalah bagaimana mengelola marah secara baik dan benar sehingga senantiasa datang pada tempat yang seharusnya dan dalam ukuran yang semestinya serta selalu tersenyum menghadapinya.
Menggapai senyum Allah
Kehidupan yang kita jalani, bertujuan untuk memperoleh Ridho Allah. Ibnu Arabi, seorang sufi kenamaan pada masanya, menyatakan bahwa dunia ini tempat mencari dan menggapai ridha Allah. Untuk mencapai ridho itu, Allah SWT memberikan ujian kepada kita, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Dalam bahasa sufi atau istilah ilmu tasawuf “Al-Ridha” berarti tidak menentang Qada dan Qadar. Manakala derajat “Al-Ridha” sudah tercapai, ketentraman, kesengan dan kebahagian pasti tercapai. Hidup akan dijalaninya dengan penuh harapan dan optimism, karena menyadari dengan sepenuh hati bahwa totalitas hidup adalah ibadah.
Benar firman Allah SWT yang artinya, “demi masa, sesungguhna manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran” (Q.S Al-Ashr :1-3)
Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa agar tidak sampai merugi dibutuhkan kesabaran. Sabar dalam mengamalkan keyakinan, amalan shaleh, senang dalam menerima segala sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada kita. Kesabaran itulah yang menjadikan kita memperoleh keridhaan-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar